Kewajipan Memuliakan Wanita

http://paaduu.com/wp-content/uploads/2011/07/british_muslim_women.jpg

Sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam

فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah tentang (urusan) wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak yang menjadi kewajiban mereka, iaitu mereka tidak boleh memberi masuk ke rumah kalian orang yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka jua memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian, iaitu nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang makruf " [HR Malik, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasai, ad-Darimi, Ahmad, Ibn Hibban, al-Baihaqi, Ibn Khuzaimah, Abad bin Humaid, Ibn Abi Syaibah, dll]

Hadis ini diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapanya, iaitu Muhammad bin Ali bin al-Husain, dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu. Sabda Rasulullah ini merupakan suntingan dari khutbah panjang yang Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam sampaikan di Arafah pada saat Haji Wada’.

Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam . bersabda, “FattaqûLlâh fî an-nisâ’.” Al-Munawi menjelaskan maksudnya adalah, “Bertakwalah dalam hal hak-hak mereka.” Imam an-Nawawi di dalam Syarah Sahîh Muslim menyatakan, “Hadis ini merupakan dorongan untuk memperhatikan hak para wanita, menasihati mereka dan memperlakukan mereka secara makruf.” “Fa innakum akhadztumûhunna bi amâniLlâh- di dalam sebahagian riwayat dengan lafadz “bi amânatiLlâh- maksudnya adalah “bi ‘ahdiLlâh (dengan janji Allah), iaitu janji untuk bersikap lembut dan bergaul dengan baik.

“Wa istahlaltum furûjahunna bi kalimatiLlâh,” maksudnya adalah dengan syariah-Nya atau dengan perintah dan hukum-Nya, iaitu kebenaran dari Allah, dan kalimah firman Allah, “fankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ (nikahilah wanita yang kalian sukai). Juga dikatakan maknanya adalah dengan ijab dan qabul, iaitu dengan kalimat yang diperintahkan oleh Allah.

“Wa lakum ‘alayhinna an lâ yûthi’na furusyakum ahadan takrahûnahu.” Menurut penulis ‘Awn al-Ma’bûd maksudnya adalah, “Hendaknya ia tidak memberikan izin kepada siapapun (yang tidak disukai suami) masuk ke rumah suaminya. Larangan tersebut mencakupi tetamu laki-laki dan perempuan.”

Imam an-Nawawi menyatakan, “Maknanya adalah hendaknya mereka (para isteri) tidak mengizinkan siapapun yang tidak kalian sukai untuk masuk ke rumah kalian dan duduk di dalamnya; baik yang diberi izin itu laki-laki asing, perempuan atau di antara mahram isteri. Ini adalah kerana, larangan tersebut mencakupi semua orang”.

Inilah hukum dalam masalah ini menurut para fuqaha’, iaitu bahawasanya isteri tidak halal mengizinkan laki-laki atau perempuan, mahram-nya ataupun bukan, untuk masuk ke rumah suami; kecuali orang yang dalam anggapan atau dugaan isterinya itu bahawa suami tidak membencinya. Sebab, hukum asalnya adalah haram untuk masuk ke rumah seorang manusia sehingga terdapat izin untuk masuk yang berasal dari dia atau orang yang dia wakilkan untuk memberi keizinan itu, atau diketahui adanya kerelaannya dengan menerapkan ‘urf tentang itu atau semacamnya. Apabila sahaja terdapat keraguan samada adanya kerelaan dia dan tidak mungkin diyakini adanya kerelaan itu serta tidak terdapat qarînah maka tidak dibolehkan masuk dan isteri tidak boleh memberikan keizinan.

“Fa in fa’alna dzâlika fadhribûhunna dharban ghayr mubarrih.” Maknanya, jika mereka mengizinkan orang yang tidak kalian sukai masuk ke rumah kalian maka pukullah mereka dengan pukulan yang ghayr mubarrih. Jadi, dalam hal ini suami boleh memukul isterinya dalam bentuk pukulan ghayr mubarrih untuk mendidik isteri. Hanya sahaja, di dalam QS an-Nisa’ [4]: 34, pukulan itu adalah langkah terakhir: setelah isteri dinasihati; jika tidak mahu mengikutinya, lalu dipisahkan tempat tidurnya; dan jika tidak mahu mentaati suami juga, baru dengan pukulan tersebut.

Pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak keji (ghayr syâ‘in), tidak keras, tidak menyebabkan luka dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud bukanlah pukulan dengan tongkat atau semisalnya. Al-Hajjaj dan Hasan Bashri menjelaskan, “Iaitu pukulan yang tidak membekas (ghayr muatstsir).” Menurut para fuqaha’ pukulan ghayr mubarrih adalah pukulan yang tidak menyebabkan kerosakan organ dan tidak meninggalkan bekas sedikitpun.[1]

“Wa lahunna ‘alaykum rizquhunna wa kiswatuhunna bi al-ma’rûf”. Jika suami memiliki hak yang menjadi kewajiban isteri, maka harus diingat bahwa isteri juga memiliki hak yang menjadi kewajiban suami; iaitu hak nafkah (makanan, pakaian, tempat tinggal dsbnya) secara makruf. Muawiyah bin Haydah al-Qusyairi pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak isteri kami?” Beliau menjawab, “Engkau memberinya makan jika engkau makan dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau memukul wajah, jangan mencela (mencaci)-nya, dan jangan mendiamkannya kecuali di dalam rumah.” [HR Abu Dawud dan Ahmad]. Bi al-ma’rûf, menurut al-Munawi, maksudnya adalah dengan memperhatikan keadaan suami, samada miskin ataupun kaya, atau dengan cara yang makruf (layak) secara sederhana dan terpuji.

Dengan demikian, hadis ini memerintahkan para suami untuk memperhatikan hak-hak isteri; agar para suami sentiasa bersikap lemah lembut kepada isteri, menggauli dan memperlakukan isteri dengan makruf. Hingga ketika menasihati, memberi hukuman dan bahkan jika terpaksa memukul dalam rangka mendidik pun tetap harus dengan cara yang makruf. Hendaknya kita selalu ingat sabda Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي

"Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada isterinya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada isteriku" [HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan ad-Darimi].

Hendaknya setiap kita, apalagi para pendukung dakwah, memperhatikan dan berupaya mewujudkan hal ini.

Wallahu' alam bi shawab

Catatan:
1. Lihat tafsir QS 4: 34 di dalam Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr al-Qurthubî, Tafsîr Ibn Katsîr, Tafsîr al-Alûsî, dsb.

Sumber : Al Waei

Comments